Adat istiadat adalah segala aturan ketentuan, tindakan yang menjadi kebiasaan secara turun temurun. Wujud dari kebudayaan yang juga direalisasikan melalui sistem upacara adat, seperti wujud kelakuan dari sistem religi yang mempengaruhinya. Upacara adat merupakan pelaksanaan dan pengembangan konsep yang terkandung dalam keyakinan pada masyarakat yang mampu memberikan pesan moral. Melalui pesan moral dalam upacara adat dapat mengingatkan manusia bahwa dalam kehidupan terdapat kekuatan di luar akal sehat manusia. Budaya yang ada di Indonesia memang unik dan menarik untuk dikaji atau di telusuri maknanya. Desa Sumberejo Kulon yang berada di Kecamatan Ngunut, Tulungagung masih kental dengan adat istiadat jawa dan terdapat beberapa upacara. Serangkaian upacara yang masih dilaksanakan di Desa Sunberejo Kulon yaitu Buka Sawah, Tingkepan Pari, Panen Raya, Nyambung Tuwah, dan Bersih Desa. Berikut penjelasan lebih lanjut :
BUKA SAWAH
Upacara buka sawah adalah upacara yang dilaksanakan sebagai bentuk permohonan masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan, kelancaran dan keselamatan dalam mengolah serta menggarap ladang sawah. Di beberapa daerah upacara ini memiliki sebutan lain, seperti Ngusaba Bukak di Desa Giri Ema, Buleleng-Bali (I GEDE, 2017); Mudas Tanah di Desa Meranggau, Meliau-Pontianak (pontianak.tribunnews.com, 2015); Buka Bumi di Sidomukti, Luwu Utara-Sulawesi Selatan (tekape.co, 2017); dan sebagainya.
Upacara buka sawah merupakan tradisi adat di Desa Sumberejo Kulon yang biasa dilakukan masyarakat secara turun menurun yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu. Ritual ini masih dilaksanakan sampai sekarang oleh masyarakat, dalam pelaksanaanya dilakukan setiap setahun sekali. Apabila hendak melakukan sesuatu maka perlu didahului dengan syukuran termasuk dalam mengolah sawah. Upacara buka sawah dilaksanakan sebelum petani mengerjakan sawahnya, yang pelaksanaanya pada hari jumat kliwon untuk bulan pelaksaannya upacara tidak tentu menyesuaikan dengan keadaan. Pelaksanaan dihari jumat kliwon dikarenakan hari tersebut merupakan hari yang menjadi pilihan yang sekaligus merupakan hari berdirinya Desa Sumberejo Kulon. Setiap hajat atau upacara adat yang dilaksanakan oleh pemerintah desa selalu menggunakan hari jumat kliwon atau bisa disebut dengan hari keramatnya desa. Dalam perkembangannya saat ini, masyarakat berinovasi dalam upacara buka sawah dengan mengadakan tumpengan sayur yang diarak mengelilingi desa yang diiringi dengan tarian reog dan mengadakan pentas seni.
Terdapat beberapa syarat yang harus ada dalam upacara buka sawah yaitu sego kokoh dan cok bakal. Setiap orang membawa makanan berupa sego kokoh dan ayam lodho. Dalam kenduri, lodho sego gurih juga disebut sekul suci ulam sari yang berarti nasi suci dan lauk inti. Pada jaman dahulu hanya wanita suci diizinkan untuk memasak sego kokoh atau sekul suci ulam sari untuk kepentingan ritual seperti orang yang sudah tidak mengalami mentruasi (menopouse). Namum saat ini, sudah terjadi pergeseran yang memungkinkan bagi siapa saja untuk memasak. Sego kokoh atau sego gurih ini dimasak dengan santan dan garam hingga rasanya menjadi gurih, dengan memakan sego gurih dipercaya akan mendatangkan keberkahan dan kemakmuran bagi yang menikmatinya. Ayam adalah lambang dari rasa syukur dan kenikmatan yang didapatkan. Selain itu ayam juga merupakan bentuk doa baik bagi manusia agar bisa meniru perilaku ayam. Ayam tidak melahap semua makanan yang diberikan padanya, melainkan hanya memilih makanan mana yang baik dan tidak. Dalam upacara buka sawah ayam ini dimasak seperti opor namun memiliki kuah santan yang kental dengan aksen pedas cabai serta aroma bakar yang wangi, olahan ini biasa disebut ayam lodho.
Cok bakal merupakan sesaji yang dulunya ditujukan sebagai bentuk permohonan keselamatan dan keberkahan kepada dewi padi. Dewi padi merupakan dewi kesuburan yang dipanggil dengan sebutan nama Dewi Sri. Cok bakal juga sebagai simbol permulaan dalam kehidupan yang berawal dari ketiadaan mnejadi ada, serta sebagai simbol hubungan antara tuhan dengan manusia. Makna dari kata cok bakal “Cikal Bakaling Urip Dumadining Jagat Sakalir, Eling Marang Purwa Duksina Jantraning Gesang” yang berarti asal mula kehidupan terjadinya seluruh alam semesta, menginat pada awal dan akhir kehidupan. Masyarakat jawa menggunakan cok bakal sebagai media awal dalam melaksanakan suatu kegiatan juga sebagai rasa syukur kepada tuhan agar kegiatan yang dilaksanakan lancar tanpa halangan. Dalam cok bakal biasanya terdiri dari telur, beras, jenang sengkala, gula, garam, cabe rawit, rempah-rempah, bumbu dapur, irisan kelapa yang sudah dipisahkan dari tempurungnya, badek ketan (air dari tape ketan), bunga setaman, biji-bijian yang diletakkan dalam satu wadah dari daun pisang bernama takir.
Rangkaian upacara buka sawah, masyarakat khususnya para petani berkumpul untuk melaksanakan upacara buka sawah dengan membawa makanan dan beberapa sesaji yang akan dipersembahkan kepada Mbah Kawuk. Acara selanjutnya yaitu nyadran, yang merupakan kegiatan berkenduri di tempat yang di keramatkan dalam suatu wilayah untuk meminta berkah doa keselamatan terhadap apa yang akan dilaksanakan. Di Desa Sumberejo Kulon nyadran diadakan di Balong Kawuk yang di percaya sebagai tempat leluhur terdahulu. Selanjunya sesepuh akah mengutarakan hajat yang diinginkan yaitu memohon kepada tuhan yang maha esa agar diberikan kemudahan dan kelancaran dalam mengolah sawah. Doa bersama yang akan dipimpin langsung oleh sesepuh, setelah semua selesai petani akan mengadakan makan bersama.
TINGKEPAN PARI
Upacara adat tingkepan pari adalah upacara yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan permohonan pada yang maha kuasa agar padi dapat berbuah dengan baik. Selain itu, upacara ini bertujuan sebagai sarana untuk menyambung tali silahturahmi antar sesama warga dengan membangun rasa saling tolong menolong. Beberapa daerah menyebut tradisi ini dengan istilah lain, misalnya di Mergoasri, Tuban tradisi tingkepan pari disebut dengan ‘Kaleman’ (mergoasri-parengan.desa.id, 2020). Namun, untuk daerah lain seperti di Laban, Kendal-Jawa Tengah (inibaru.id, 2018); Jati, Soko-Tuban (kongkrit.com, 2019); dan sebagainya.
Tingkepan pari merupakan sebuah tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang yang dipengaruhi oleh agama Hindu-Budha dan mempercayai bahwa Dewi Sri adalah Dewi pertanian, Dewi padi dan sawah, serta Dewi kesuburan. Selain itu, Dewi Sri juga dipercaya sebagai dewi yang menguasai ranah dunia bawah tanah dan bulan. Perannya mencakup segala akses, Dewi ibu yakni sebagai perlindungan kelahiran dan kehidupan. Dewi Sri juga mengendalikan bahan makanan di bumi terutama padi, ia juga disebut sebagai Dewi pengatur kehidupan, kekayaan dan kemakmuran manusia.
Masyarakat Desa Sumberejo Kulon memiliki suatu tradisi, bahkan hingga saat ini masih dilaksanakan oleh orang-orang yang bermata pencaharian sebagai petani. Tradisi ini disebut tingkepan pari, sama halnya dengan manusia yang melaksanakan upacara tingkepan yaitu pada bayi berumur 7 bulan dalam kandung. Namun perbedaannya tingkepan pari ini dilakukan ketika tanaman padi berumur 2 bulan setelah di tanam di sawah. Tingkepan pari dilaksanakan sama seperti buka sawah yang dilaksanakan pada hari jumat kliwon hanya waktu yang bertepatan pari atau padi sudah hidup subur menghadapi buah atau saat padi akan berbuah. Tujuan dari tingkepan pari yaitu mensyukuri atas tanaman yang di tanam dan buah yang akan timbul semoga berbuah dengan baik. Selain itu memohon agar diberikan perlindungan dari berbagai macam penyakit padi dan kelancaran hingga panen.
Terdapat beberapa syarat yang harus ada dalam upacara buka sawah yaitu sego kokoh dan cok bakal. Beberapa orang membawa makanan berupa sego kokoh dan lauk ayam lodho. Dalam kenduri, lodho sego gurih juga disebut sekul suci ulam sari yang berarti nasi suci dan lauk inti. Sego kokoh atau sego gurih ini dimasak dengan santan dan garam hingga rasanya menjadi gurih, dengan memakan sego gurih dipercaya akan mendatangkan keberkahan dan kemakmuran bagi yang menikmatinya. Ayam adalah lambang dari rasa syukur dan kenikmatan yang didapatkan. Selain itu ayam juga merupakan bentuk doa baik bagi manusia agar bisa meniru perilaku ayam. Ayam tidak melahap semua makanan yang diberikan padanya, melainkan hanya memilih makanan mana yan baik dan tidak.
Cok bakal merupakan sesaji yang dulunya ditujukan sebagai bentuk permohonan keselamatan dan keberkahan kepada dewi padi. Dewi padi merupakan dewi kesuburan yang dipanggil dengan sebutan nama Dewi Sri. Cok bakal juga sebagai simbol permulaan dalam kehidupan yang berawal dari ketiadaan mnejadi ada, serta sebagai simbol hubungan antara tuhan dengan manusia. Makna dari kata cok bakal “Cikal Bakaling Urip Dumadining Jagat Sakalir, Eling Marang Purwa Duksina Jantraning Gesang” yang berarti asal mula kehidupan terjadinya seluruh alam semesta, menginat pada awal dan akhir kehidupan. Masyarakat jawa menggunakan cok bakal sebagai media awal dalam melaksanakan suatu kegiatan juga sebagai rasa syukur kepada tuhan agar kegiatan yang dilaksanakan lancar tanpa halangan. Dalam cok bakal biasanya terdiri dari telur, beras, gula, garam, cabe rawit, rempah-rempah, bumbu dapur, irisan kelapa yang sudah dipisahkan dari tempurungnya, badek ketan (air dari tape ketan), bunga setaman, biji-bijian yang diletakkan dalam satu wadah dari daun pisang bernama takir.
Rangkaian upacara buka sawah, masyarakat khususnya para petani berkumpul untuk melaksanakan upacara buka sawah dengan membawa makanan dan beberapa sesaji yang akan dipersembahkan kepada Mbah Kawuk. Acara selanjutnya yaitu nyadran, yang merupakan kegiatan berkenduri di tempat yang di keramatkan dalam suatu wilayah untuk meminta berkah doa keselamatan terhadap apa yang akan dilaksanakan. Di Desa Sumberejo Kulon nyadran diadakan di Balong Kawuk yang di percaya sebagai tempat leluhur terdahulu. Selanjunya sesepuh akah mengutarakan hajat yang diinginkan yaitu memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar berbuah dengan baik dan terhindar dari segala macam bala atau penyakit yang dapat menyerang padi seperti hama, tikus, burung, dan penyakit lainnya. Doa bersama yang akan dipimpin langsung oleh sesepuh, setelah semua selesai petani akan mengadakan makan bersama.
PANEN RAYA
Upacara adat penen raya adalah sebagai bentuk rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas penen padi yang berlimpah, sebab padi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia pada umumunya. Selain itu upacara panen raya bertujuan sebagai wujud permohonan berkah dan keselamatan, serta memohon keberhasilan agar panen padi terus berlimpah disetiap panennya. Di beberapa daerah upacara ini memiliki sebutan lain, seperti Mappadendang di daerah Sulawesi Selatan atau pada masyarakat Bugis, Seren Tuan pada masyarakat sunda, Penti di daerah flores (boombastis.com, 2016), dan sebagainya.
Upacara panen raya menjadi tradisi bagi sebagian masyarakat Indonesia yang memiliki area persawahan yang luas, upacara ini dilaksanakan sejak jaman Hindu-Budha untuk menyambut musim panen. Salah satunya di Desa Sumberejo Kulon yang termasuk dalam Kabupaten Tulungagung hingga saat ini masih melaksanakan upacara panen raya yang dilaksanakan setiap setahun sekali. Pada generasi saat ini upacara panen raya dilaksanakan dengan ngideri pari (memutari lahan padi), dengan mengambil beberapa padi tua oleh sesepuh dan sebelumnya ideri atau memutari lahan sawah sesepuh membawa cok bakal dan sego kokoh untuk ditaruh di setiap sudut sawah. Tak lupa di Balung Kawuk juga diberi cok bakal dan sego kokoh
Dahulu acara upacara panen raya pelaksanaannya cukup rumit dengan istilah upacara methik pari. Methik pari merupakan suatu upacara dengan mengambil padi yang sudah siap panen dan sebelumnya akan di ambil oleh sesepuh yang mengambil sebagian kecil dari padi atau dua ikat yang disebut dengan mantene pari. Satu ikat sebagai Mbok Sri Sedono dan satu ikat lagi sebagai Joko Sedono sebagai kemanten atau kedua mempelai yang diambil oleh sesepuh di sawah sebelum masa panen di ambil oleh para pemilik atau petani. Asal muasal dari padi ini memiliki nama Mbok Sri Sedono, yang selanjutkan dibantu oleh Joko Sedono untuk dibuahi yang selanjutnya akan melahirkan tanaman padi.
Selamatan atau syukuran akan datangnya panen ini dilaksanakan secara besar-besaran dan sangat lengkap oleh orang-orang kaya yang memiliki lahan luas ataupun petani lain yang menginginkan upacara methik pari dengan meminta bantuan kepada sesepuh atau pawang untuk melaksanakan upacara methik pari.
Rangkaian upacara metik pari, pada sore hari sebelum melaksanakan methik pari sesepuh atau pawang akan mempersiapkan tempat untuk mengambil manten pari (Mbok Sri Sedono dan Joko Sedono) yang disebut dengan masang tarup. Sedangkan dirumah sang petani atau pemilik sawah sudah mulai mempersiapkan berbagai makanan untuk slametan atau kenduri. Dalam menentukan tempat untuk mengambil manten pari ini memiliki banyak perhitungan tidak asal mengambil padi, seperti dari waktu, hari, cara mengambil dari arah mana menuju arah mana. Namun, Hal ini sudah jarang dilakukan dikarenakan jika terjadi kesalahan teknis atau perhitungan dalam pengambilan padi maka dapat membawa bencana khususnya untuk pawang/sesepuh dan keluarga dari pemilik sawah.
Setelah memasang tarup, keesokkan harinya berbagai makanan dibawa ke sawah untuk melaksanakan upacara methik pari. Disetiap sudut sawah akan diberi cok bakal dan sego kokoh. Tak lupa sebelum berjalannya upacara ini sesepuh atau pawang meminta ijin atas upacara yang akan dilaksanakan pada Mbah Kawuk dengan membawa sesaji. Selanjutnya sesepuh atau pawang akan mengambil 2 ikat atau 2 genggam tangan yang disebut dengan Mbok Sri Sedono dan Joko Sendono pada tempat yang telah ditentukan pada sore hari sebelumya. Setelah mendapatkan manten pari yaitu Mbok Sri Sedono dan Joko Sedono, sesepuh atau pawang akan membawa dengan menggendong manten pari sambil berjalan kaki menuju rumah pemilik sawah. Sampai dirumah akan diserahkan kepada pemilik sawah tersebut dengan upacara seserahan yang garis besarnya menyebutkan tugas pawang untuk mengambil Mbok Sri Sedono dan Joko Sedono sudah selesai untuk selanjutnya akan diserahkan kepada pemilik. Setelah manten pari diserahkan sang pemilik sawah akan menyimpan manten pari ini dengan baik. Selanjutnya akan diadakan kenduri bersama dengan para saudara ataupun tetangga sekitar.
Kedatangan padi ini sangat dihargai dan selanjutnya padi ini akan dikumpulkan terlebih dahulu di dalam rumah. Cara pemeliharaan dari padi yang ditumpuk ini agar tidak berjamur maka bisa diberi harum-haruman dari bunga boreh. Proses selanjutnya pengeringan gabah dari hasil panen yang dipanaskan hingga kering dibawah terik sinar matahari selama beberapa hari. Namun manten pari ini tidak melalui proses pengeringan karna manten pari ini merupakan padi pilihan. Setelah gabah kering maka akan dimasukkan ke dalam lumbung bersama manten pari yaitu Mbok Sri Sedono dan Joko Sedono yang masih bentuk 2 ikat. Manten pari diberi tempat khusus dalam lumbung ini, dengan diberikan pengindah dan harum-haruman dari bunga, Proses ini masih dalam kawasan pemeliharaan panen raya. Setelah disimpan dilumbung selama 40 hari, gabah yang disimpan bisa diolah yang selanjutnya bisa dimasak. Masak pertama dari panen ini juga membutuhkan upacara yang disebut dengan upacara nganyar-nganyari dengan hajatan memperingati adanya jenis padi lama ke padi baru (paring pepenget dumateng Mbok Sri Sedono lan Joko Sedono pantun lami pinanggih enggal). Upacara nganyar-nganyari menggunakan tumpengan nasi dan jadah (olahan ketan yang dimasak), dengan upacara ini diharapkan kedepannya saat menanam padi berikan lebih baik lagi.
SURAN NYAMBUNG TUWOH
Peringatan tahun baru hijriah bagi masyarakat jawa identik dengan peringatan malam 1 suro, masyarakat menyambut bulan suro dengan perayaan yang disertai prosesi adat karena dianggap sakral. Upacara di bulan suro dilakukan untuk memperingati datangnya bulan suro dan memohon kepada Tuhan agar semua makhluk hidup baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan diberikan perlindungan dan keselamatan. Di beberapa tempat upacara ini memiliki ritual yang berbeda-beda seperti di keraton Yogyakarta dengan mengadakan ritual Lampah Mubeng, Keraton Surakarta dengan tradisi Kirab Kebo Bule, Kabupaten Malang dengan melakukan kirab sesaji, dan di Kediri menggelar ritual khusus di Petilasan Pamuksan Sri Aji Joyobojo (msn.com).
Suro dimaknai sebagai bulan pertama dalam sistem kalender Jawa-Islam. Penyebutan kata ‘Suro’ bagi orang jawa ialah bulan Muharam dalam kalender Hijriah. Kata tersebut berasal dari ‘asyura’ (bahasa Arab) yang berarti kesepuluh (maksudnya tanggal 10 bulan suro) dan kata ‘Suro’ dicetuskan oleh pemimpin Kerajaan Mataram Islam yaitu Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645). Hal ini dilatarbelakangi karena Sultan Agung ingin mengubah kalender Saka (perpaduan kalender Jawa dan Hindu) dan memadankannya dengan penanggalan Hijriah, yang tujuannya agar saat itu masyarakat dapat merayakan bersamaan dengan seluruh umat Islam dan menyatukan masyarakat Jawa yang terpecah saat itu antara kaum Abangan (Kejawen) dan Putihan (Islam). Bulan suro dianggap sakral karena dipercayai dengan kedatangan Aji Saka yang membebaskan rakyat Jawa dari makhluk gaib raksasa. Tak hanya itu, secara turun temurun rakyat Jawa percaya bahwa bulan suro merupakan kelahiran aksara Jawa dan pada malam satu suro disebut juga sebagai hari pulangnya arwah para keluarga yang sudah meninggal.
Desa Sumberejo Kulon juga mengadakan tradisi di bulan suro dengan sebutan Suran Nyambung Tuwoh. Tradisi ini dilaksanakan untuk memohon keselamatan masyarakat Desa, agar selalu di ridhoi dan di lindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaan dari suran nyambung tuwoh ini sesuai dengan kebutuhan pribadi masing-masing, sehingga tradisi ini juga bisa diadakan di setiap keluarga masing-masing. Pada jaman dahulu masyarakat desa mengikuti tradisi suran dengan datang ke pondok atau padepokan yang ada di desa dengan tujuan meminta ilmu kepada pemimpin pondok atau padepokan yang biasa disebut dengan maguru. Setiap kelompok perguruan mengadakan tradisi suran yang pelaksanaanya hampir sama dengan suran yang di peringatai setiap keluarga hanya saja dihimpun oleh pondok atau padepokan. Pelaksanaan suran nyambung tuwoh Kulon dilakukan pada tahun baru jawa atau bulan muharram. Dalam pelaksanaanya slametan nyambung tuwoh komoplit Abu rampen, jenang grendul, krambil, dan umbi-umbian.
BERSIH DESA
Bersih desa merupakan warisan dari nilai-nilai luhur lama budaya yang menunjukkan bahwa manusia jadi satu dengan alam. Tradisi bersih desa ini dilaksanakan satu kali dalam setahun dengan berbagai rangkaian acara terutama masyarakat desa mengadakan kenduri bersama dan memberikan sesaji kepada leluhur atau tempat yang dianggap sakral oleh desa. Upacara bersih desa juga sebagai hari peringatan berdirinya suatu desa dengan tujuan dari bersih desa diantaranya sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memohon perlindungan agar masyarakat desa merasa aman, tentram, dan sejahtera. Tradisi bersih desa memiliki 2 makna yaitu sebagai gerakan kerbersihan yang di kerjakan oleh masyarakat dan sebagai persembahan kepada leluhur serta permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar desa dihindarkan dan diberikan perlindungan dari malapetaka.
Upacara bersih desa tidak selalu sama di setiap daerah ataupun desa karena para leluhur yang membawa tradisi tersebut berbeda di setiap daerah dan dalam pelaksaannya pun berbeda yang menyesuaikan dengan leluhur yang disakralkan. Seperti di daerah giwangan Yogakarta yang mengadakan bersih desa pada hari jumat pon karena hari tersebut merupakan hari meninggalnya Panembahan Senopati, lain halnya dengan dengan masyarakat desa Sendang Agung Sleman yang menganggap bahwa jumat pon merupakan hari yang dikeramatkan oleh Ki Ageng Tunggul Wulung (kompasiana.com, 2015). Meskipun berbeda namaun secara umum memiliki tujuan yang sama dan ritual yang disesuaikan dengan daerah masing-masing.
Upacara bersih desa di Desa Sumberejo Kulon di diselenggakan pada hari jumat kliwon bulan Selo. Jika pada bulan selo tidak ada jumat kliwon maka akan diselenggarakan pada bulan sebelum atau sesudah bulan selo. Masyarakat mengadakan kenduri (takir plontang) yaitu wadah makanan dari daun pisang yang disemat dengan lidi pada kedua sisinya yang dihiasi dengan janur melingkar yang didalamnya berisi nasi punel dan nasi gureh lauknya bebas. Takir merupakan simbol mengarungi bahtera kehidupan dengan terus menerus menata pikiran, karena perjalanan kehidupan selalu mudah terombang-ambing mengikuti gelombang kehidupan. Pelaksanannya diadakan di setiap lingkungan dan dilaksanakan sekitar pukul 16.00 WIB. Karena pelaksanaanya diadakan disetiap lingkungan maka terdapat beberapa kelompok untuk mengadakan kenduri takir plontang yang dipimpin oleh sesepuh diantara kelompok, dan terjadi perbedaan dalam cara berdoa dengan menggunakan hajatan lama, ada yang biasa, dan ada juga tahlilan. Sampai sekarang yang menggunakan hajatan lama (jelintrik) sudah tidak banyak.
Rangkaian upacara bersih desa, masyarakat berkumpul di setiap lingkungan seperti di poskampling, di pertigaat maupun di perempatan jalan. Setelah berkumpul maka akan dilaksanakan doa bersama dipimpin oleh sesepuh dilingkungan tesebut dan diakhiri dengan makan bersama. Selain itu, Kepala desa juga mengadakan kenduri bersih desa pada siang hari dirumahnya sendiri dengan menurut keyakinannya. Pada malam hari akan diadakan upacara di kantor desa yang biasanya mengadakan tahlilan bersama mengirim doa kepada seluruh arwah sesepuh desa dan terkadang mengadakan wayangan maupun pentas sepi lainnya. Pada pukul 00.00 di setiap sudut desa diberi cok bakal dengan titik yang telah disepakati. Hajat ini khusus dari kepala desa agar diberikan kekuatan dalam memimpin desa.
Oleh: Sinta Agustin